Para Pemohon:
Beberapa PNS dan pensiunan PNS (antara lain Firdaus, Yulius Nawawi, Imam Mardi Nugroho, Hasdullah, Sudarno Eddi, Jamaludin Masuku, dan Jempin Marbun)
Objek Permohonan:
Uji materi terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, khususnya pada:
- Kata “dapat”
- Frasa “atau orang lain atau suatu korporasi”
Dalil Pemohon:
- Frasa “dapat” menimbulkan ketidakpastian hukum karena bisa diartikan mungkin, potensial, atau tidak harus nyata, sehingga berpotensi menjerat pejabat meskipun kerugian negara belum nyata.
- Frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” dianggap terlalu luas dan bisa menjerat kebijakan pejabat yang dilakukan dengan itikad baik.
- Pasal-pasal tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum dan hak konstitusional sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (4), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945.
- Pemohon meminta agar unsur “kerugian negara” dalam tindak pidana korupsi dipahami sebagai delik materiil, bukan formil, sehingga kerugian negara harus nyata dan pasti .
Keterangan Pemerintah dan DPR:
- Permohonan dianggap ne bis in idem karena Pasal 2 dan 3 UU Tipikor sudah pernah diuji (Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 dan No. 44/PUU-XI/2013).
- Kata “dapat” diperlukan agar hukum mampu menjangkau berbagai modus korupsi yang kompleks.
- Frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” penting untuk mencegah keuntungan melawan hukum yang tidak hanya dinikmati pelaku.
- Pemerintah menegaskan, pejabat yang bertindak sesuai hukum tidak perlu takut dijerat korupsi .
Pertimbangan MK:
- MK menilai permohonan tidak ne bis in idem, karena batu uji konstitusionalnya berbeda dengan permohonan sebelumnya (sekarang melibatkan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (4) dan (5) UUD 1945).
- Namun, MK tetap berpegang pada putusan sebelumnya (003/PUU-IV/2006), bahwa kata “dapat” adalah conditionally constitutional, sepanjang ditafsirkan bahwa kerugian negara harus dibuktikan dan dapat dihitung, meskipun berupa perkiraan atau belum nyata terjadi.
- MK menegaskan unsur “kerugian negara” tidak harus menunggu kerugian nyata, karena hal itu akan melemahkan pemberantasan korupsi.
Amar Putusan:
- Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.
- Menyatakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor tetap memiliki kekuatan hukum mengikat dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Inti Putusan
- Kata “dapat” dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor tetap konstitusional, tetapi harus ditafsirkan sesuai tafsir MK (kerugian negara harus dapat dibuktikan).
- Frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” tidak inkonstitusional, karena bertujuan mencegah keuntungan melawan hukum yang luas.
- Permohonan ditolak seluruhnya.
Unduh Putusan:
